Keajaiban Operasi Anak Kami (Bagian 5)

20 Februari 2024, Keajaiban Operasi Anak Kami

Operasi anak kami rencana dijadwalkan hari Sabtu, jadi hari Jumat kami harus sudah hadir di rumah sakit untuk mengurus segala keperluan adminstrasi rawat inap. Tapi qadarullah, jadwal operasi hari Jumat dibatalkan, di undur hari Selasa, karena dokter bedahnya lagi ujian. Padahal kami sudah bawa barang banyak, sampai kesini pulang lagi, kebayang ga kesalnya. Tapi ya sudahlah, kuatkan sabar lagi. Mau protes juga percuma.

Hari Seninnya jam 7 pagi via grab mobil offline, kami sudah tiba di rumah sakit. Sengaja pagi sekali kami berangkat untuk menghindari macet di jalan dan antrian di rumah sakit. Alhamdulillah kali ini tidak ada lagi pending atau tetek bengek lainnya. Hari ini kami sudah bisa rawat inap, besoknya menjalani operasi. Setelah proses administrasi yang melelahkan, akhirnya kami pun diantar ke gedung rawat inap yang baru.

(Gedung rawat inap yang baru)

Gedung rawat inap yang baru suasanannya masih adem (sepi dan lengang), karena belum banyak aktifitas, sepertinya hanya beberapa lantai yang sudah terisi. Kami menginap di lantai 3. Nyaman rasanya menginap di gedung baru yang masih bersih.

Kamar rawat inap kami cukup luas, satu kamar diisi 6 tempat tidur, dengan satu kamar mandi. Keluarga pasien bisa tidur di samping tempat tidur pasien. Kami sebenarnya menyukai gedung rawat inap yang lama, dimana satu kamar diisi 1 pasien dan keluarganya. Dengan 1 kamar 1 pasien lebih nyaman rasanya, karena lebih privacy, tidak campur dengan pasien lain. Tapi tak apalah, kamar yang baru ini cukup luas dan bersih, sinar matahari menerangi seluruh ruangan, karena sisi sebelah kamar dipasang kaca yang lebar tanpa horden.

Si kecil nampak sangat riang berada di tempat dan dengan orang-orang baru, dia pikir lagi bertamasya kali, ga tahu dia kalau besok akan masuk kamar bedah. Ah kalau melihat ini jadi sedih saya, semoga cepat selesai pengobatanmu ya nak?

◇◇◇◇◇◇◇◇◇◇◇◇◇◇◇◇◇◇

Hampir jelang Shubuh, sekujur tubuhku menggigil, ga bisa tidur karena semalaman kedinginan kena hembusan AC kamar. Aku bergegas ganti baju dan turun ke bawah menuju masjid. Suasana rumah sakit lengang, para perawat masih tampak di posnya, para satpam sebagian ketiduran, hanya di lantai 1 masih terjaga.

Lokasi masjid tak jauh, bersebelahan dengan gedung rawat inap kami. Masjid ini milik rumah sakit Haji, di kelola oleh pemprov Sumut. Sudah lama tak kemari, tempatnya masih sama seperti dulu. Yang paling ku ingat adalah mesin pompa air di tempat wudhu. Suaranya berisik memecah keheningan Shubuh. Justru ini yang bikin jadi memory. Teringat dulu saat pertama kali kemari.

Memasuki Masjid disambut dengan hembusan AC yang super dingin. Setelah kena air wudhu, hembusan AC semakin dingin menyucuk tulang. Tak sanggup rasanya untuk khusyuk. Adzan pun berkumandang.

Hari ini rencana jadwal operasi anak kami, kemungkinan operasi dilaksanakan sekitar jam 5 - 6 sore. Jadi jam 10 siang si kecil sudah tak boleh makan dan minum alias puasa. Kami beri dia makan dan minum dengan porsi agak banyak. Kasihan si kecil, dari jam 10 pagi sampai malam, dia harus bepuasa.

Yang paling tak tega adalah saat melihat si kecil di infus tangannya. Berkali-kali perawat menusukkan jarum infus ke urat tangan si kecil, tapi gagal, karena si kecil meronta-ronta kesakitan, akhirnya pindah ke tangan sebelah. Karena hampir sering tangannya ditusukin jarum, semenjak itu dia trauma melihat perawat. Kasihan anakku, cepatlah selesai operasi ini, agar anakku tak lagi menderita.

Waktu serasa lama berlalu, tapi tiba juga saatnya anak kami dibawa menuju ruang bedah. Dengan dipangku umminya, si kecil dibawa turun menggunakan kursi roda. Tidak seperti operasi sebelumnya menggunakan mobil ambulans, karena lokasi kamar inap dan ruang bedah sangat jauh.

Jam 6 sore kurang beberapa menit, kami sudah memasuki ruang tunggu operasi, tampak ada 1 pasien dan keluarganya yang juga sedang menunggu disana, mereka tetangga kami satu kamar. Suasana saat itu tidak mengenakkan, semua serba suram. Para perawat dan tim dokter tampak sibuk mengurus segala sesuatunya. Satu petugas pun menyuruh kami untuk memakaikan baju bedah untuk si kecil.

Sekitar jam 6 sore, tim bedah akhirnya membawa si kecil menuju ruang bedah. Inilah suasana yang paling tak mengenakkan bagi kami. Rasanya tak tega membiarkan si kecil sendirian dibawa ke ruang bedah. Sudah berulang kali kami melewati suasana yang tidak mengenakkan seperti ini, mengantarkan anak ke ruang operasi dengan perasaan sedih, khawatir dan cemas.

Saya dan istri berkali-kali menciumi si kecil, sambil berucap, sabar ya nak, sehat-sehat selalu... Air mata pun mengalir. Pasien tetangga pun ternyata juga ikut menangis saat berpisah dengan anaknya di ruang bedah. Ya begitulah namanya juga orang tua. Masa sih dalam kondisi seperti ini, orang tua santai dan slow aja?

Waktu Maghrib telah tiba, adzan berkumandang. Kulangkahkan kaki menuju Masjid untuk menunaikan kewajiban. Saat-saat inilah harusnya kita dekat sama Allah, meminta pertolonganNya agar segala sesuatunya dimudahkan dan dijauhkan dari segala marabahaya.

Tapi yang saya lihat disini malah sebaliknya. Suka heran juga lihat orang-orang di rumah sakit ini. Orang-orang ini kan sedang menunggu keluarganya yang sedang dibedah? Harusnya saat kayak gini jangan tinggalkan sholat. Saat kayak ginilah kita butuh Allah, butuh pertolonganNya. Ini malah bikin dosa dengan meninggalkan kewajiban, pede amat, ga takut apa?

Selesai shalat Maghrib, aku kembali ke ruang tunggu, giliran istriku yang ke Masjid untuk sholat. Sambil menunggu, ku basahi bibirku dengan istighfar. Aku berharap di tengah operasi jangan ada lagi dipanggil ke ruang bedah. Suka ga enak perasaan kalau dipanggil kayak gitu.

Dua jam berlalu, waktu Isya pun sudah lewat. Dari ruang pemulihan yang letaknya bersebelahan dengan ruang operasi, seorang petugas memanggi nama seorang anak, ternyata anak tetangga satu kamar kami sudah selesai di operasi, orang tuanya pun bergegas masuk. Kami pikir nama anak kami yang dipanggil tadi.

Cukup lama kami menunggu, sudah 3 jam berlalu, jadi tanda tanya. Kok belum keluar juga si kecil. Rasa cemas menjalar di hati, kutepiskan perasaan yang tidak-tidak. Anak kami pernah operasi meluruskan penis di rumah sakit Adam Malik, waktu itu operasi hanya memakan waktu 2 jam, sekarang ini sudah lebih dari 2 jam. Meluruskan penis itu operasi kecil, jadi tidak memakan waktu lama.

Setelah menunggu 3 jam lebih, sekitar jam setengah 10 malam, akhirnya kami pun dipanggil ke ruang pemulihan. Serentak kami berhamburan menuju ruang pemulihan.

Di ruangan recovery hanya ada 2 pasien, anak tetangga tadi dan anak kami. Terlihat si kecil tubuhnya dibungkus kain penutup, hidungnya tersambung dengan selang oksigen. Disamping tempat tidurnya, mesin pendeteksi detak jantung tak henti-henti berbunyi di ruangan luas yang lengang itu.

Si kecil nampak mengerang kesakitan, dadanya tersengguk-sengguk menahan (entah sakit, entah tangis). Sewaktu operasi-operasi sebelumnya, biasanya sehabis operasi anak kami lebih banyak tidurnya. Baru kali ini dia sadar, sepertinya dia menahan sakit, obat biusnya mungkin sudah habis. Hiba hati kami. Anak sekecil ini sudah mengalami rasa sakit seperti ini. Harusnya seusia dia hanya mengenal kegembiraan dan keceriaan.

Ada hal yang lucu sekaligus mengharukan disini. Rupanya saat sikecil dibawa ke ruang tunggu operasi, dia membawa mainan pistol-pistolannya. Sampai ke ruang bedah, bahkan sampai mengganti bajunya, kami tak melihat si kecil membawa mainan pistolnya. Alhasil sampai si kecil dibawa ke kamar bedah oleh dokter, mainan itu masih didalam genggamannya. Dan setelah selesai di operasi, dan dibawa ke ruang pemulihan, mainan pistol itu masih tetap ada ditangannya. Mungkin para dokter bedah itu yang mengaturnya sedemikian rupa. Ah lucunya si kecil..

Terdengar suaranya tersendat-sendat, si kecil memanggilku. "Ayaah..??".

"Ayah disini nak, apanya yang sakit?" tanyaku sambil mengusap kepalanya dan menciumi keningnya. Umminya pun langsung memeluknya tak ketinggalan juga ibuku. Kami semua sayang kepadanya.

Cukup lama anak kami berada di ruang pemulihan, dia terus mengerang menahan sakit. Sekitar jam 11 malam, si kecil pun dipindahkan kembali ke kamarnya. Saat itu kain penutup dibuka, baru kelihatan kalau si kecil memakai selang kateter (ga tahu tersambung kemana). Sedang penisnya nampak diperban. Istriku curiga, operasi meluruskan penis, kok perbannya sampai menutupi pangkal zakarnya. Biasanya perban hanya mengeliling penis.

Setelah berada di kamar, si kecil sudah mulai tenang, bahkan sudah tertidur. Kami harus jaga ekstra ketat, tidak boleh lengah. Si kecil anaknya lasak, kalau sampai selang kateter tercabut, wah gawat urusannya. Akhirnya jadilah saya dan istri bergantian bergadang menjaga si kecil.

Sehabis operasi hati sudah agak tenang. Karena masa yang mendebarkan sudah lewat. Walau pun ketenangan saya ini masih mengganjal, ya operasi ini belum final, masih ada operasi lanjutannya. Masa-masa kesedihan, kecemasan, kekhawatiran, kesakitan seperti semalam akan berulang lagi pada operasi berikutnya.

Besoknya si kecil sudah tak kesakitan lagi, dia sudah bisa minum dan makan. Alhamdulillah lega melihatnya. Kami pun melewati masa opname ini dengan rasa tenang.

Hari ketiga, dokter asisten datang memeriksa anak kami. Perban si kecil dibuka. Tampak penis si kecil bengkak, berwarna kemerahan, dan kayak habis disunnat, disitu baru kelihatan kalau selang kateter si kecil rupanya tersambung ke ujung lubang penisnya.

Si asisten dokter berkata, "saluran kencingnya sudah kita pindahkan ke atas ya? (Maksudnya sudah dipindahkan ke penis si kecil).
Lha...jadi.....???

"Dok, ini operasi Hipospadia ya, bukan meluruskan penisnya?" Tanyaku.

"Ini uda sekalian kita pindahkan saluran kencingnya", jawab dokter tadi.

MasyaAllah, Allahu Akbar, berarti ini operasi final dong. Sudah selesai berarti? tanyaku dalam hati. Tak kebayang bagaimana kegembiraanku waktu itu. Rasanya seperti mimpi. Ini mimpi atau tidak ya?

Aku dan istri saling pandang. Dan terlihat senyuman cerah di bibirnya. Istriku kelihatan gembira.

Ya Allah, keajaibanMu, pertolonganMu...

Rasanya sulit dipercaya kalau anak kami sudah selesai operasi Hipospadianya. Hal inilah yang bertahun kami tunggu, dan seakan tak pernah memihak kepada kami, tapi hari ini begitu saja ia menghampiri kami. Alhamdulillah..

Makin tenang kami melewati masa opname ini. Perjuangan kami tinggal hanya menjaga si kecil agar kateternya tidak lepas. Ini juga bukan pekerjaan gampang, saya dan istri nyaris tidak tidur menjaga si kecil.

Hari Jumat kami sudah boleh pulang, berarti terhitung sejak hari Senin sampai Jumat, sudah 5 hari kami menginap disini. Kami sudah bisa pulang atas arahan dokter Nurdiani. Sayangnya selang kateter harus dibawa pulang, belum boleh dilepas, dokter mewanti-wanti agar selang jangan sampai terlepas, harus dijaga. Bukan pekerjaan gampang ini. Tapi yang penting kami sudah bisa pulang.

Menjaga si kecil agar tidak lepas kateternya, bukan pekerjaan gampang, soalnya selang itu hanya dimasukkan ke penisnya, dan bisa saja lepas kalau dia banyak bergerak. Cukup sulit memang, apalagi ketika harus naik turun dari mobil. Di rumah, saya dan istri tak bisa tidur karena harus menjaga si kecil.

Selang Kateter Si Kecil Terlepas

Seminggu kemudian kami kontrol ke rumah sakit, cukup kerepotan membawa si kecil naik turun ke mobil, karena harus menjaga kateternya, belum lagi harus menggendong dia menuju poli bedah anak, fasilitas kursi roda pun tidak tersedia disana.

Sayang, si kecil belum juga bisa dicabut keteternya. Harus menunggu 14 hari kata dokter. Padahal kita inginnya agar segera bisa dilepas agar bisa lebih mudah segala sesuatunya.

Disini dokter meresepkan obat yang harus dibeli di apotek luar. Obat ini harus diminum karena untuk kesembuhan luka operasi si kecil agar cepat kering. Tentu saja ini berbayar dan tidak didukung BPJS. Harga obat satu kotaknya 245ribu. Kalau saja tak ada ibuku, entah bagaimana kami bisa menebus obat mahal tersebut.

Kembali ke rumah, belum bisa total istirahat karena kembali harus menjaga si kecil. Kalau saja sudah bisa dibuka selang kateternya, mungkin sudah bisa tarik nafas kami. Rasa letih ini sudah tidak tertahankan, badan dingin, kepala nyut-nyutan, nafas ini sesak karena kurang tidur.

Malamnya saya sudah tak tahan lagi, saya bawa tidur saja badan ini, biar istri aja yang jaga si kecil, tapi istri saya juga tertidur, ah biarlah 😀.

Qadarullah, sehati-hatinya menjaga akhirnya kecolongan juga. Apa yang dikhawartirkan pun terjadi. Jelang Shubuh, istri membangunkan saya, dia memberitahu kalau selang kateter si kecil sudah lepas. What...???

"Kok bisa lepas", kataku. Saya periksa penisnya, memang sudah lepas, dan air urine nya membasahi alas tempat tidurnya. Waduh bagaimana ini jadinya. Langsung kami dilanda panik tingkat tinggi.

Bagaimana kalau ibu tahu, bisa runyam urusannya, kalau cuma masalah ibu masih bisa dihadapi dengan penjelasan, gimana kalau penisnya bermasalah gara-gara lepas selang kateternya, ini lebih berbahaya. Tapi memang si kecil lasaknya minta ampun.

Saat itu juga aku hubungi asisten dokter Erjan via WA. Aku sampaikan semua rasa khawatirku kepadanya.

"Dok, selang kateter anak kami terlepas, bagamana ya dok?"

"Terlepas? Tapi sudah lebih dari seminggu kan pak?" Tanya dokter muda tersebut.

"Iya dok, terhitung sejak operasi sampai kontrol kemarin, sudah ada seminggu lebih", jawabku.

"Biasanya kalau sudah seminggu engga masalah", jelasnya.

"Tapi kata dokter Erjan, harus 14 hari dok?" Tanyaku lagi.

"Harusnya memang dua minggu", kata dokter itu lagi.

"Jadi bagaimana ini dok?" Tanyaku lagi masih panik.

"Insya Allah ga apa-apa pak? Coba pantau BAK (buang air kecil) nya bagaimana, apakah lancar, atau ada rasa nyeri?" Tanya sang dokter.

"Kayaknya urine nya lancar dok, keluar dari ujung penis, dan tidak ada rasa sakit", jelasku.

"Ya kalau gitu tak masalah".

"Jadi kalau pas BAK itu ga lancar dan ada rasa sakit, berarti itu masalah ya dok?" Tanyaku lagi.

"BAK nya ga lancar, tak bisa BAK, dan ada rasa sakit. Kalau itu terjadi maka harus dioperasi lagi", jelasnya.

Was-wasku makin menjadi. Bagaimana kalau sampai si kecil dioperasi lagi? Ku tepis semua rasa yang tidak-tidak itu, ku tenangkan diriku kalau itu semua semoga baik-baik saja. Saat selesai shalat Fajar, ku angkat tanganku keatas, mohon pertolongannya, agar anak saya dijauhkan dari segala yang tidak diinginkan.

Alhamdulillah, berkat pertolongan Allah, anakku tak ada masalah dengan BAK nya. Lancar, tidak ada rasa nyeri. Semua insyaAllah baik-baik aja.

Aku WA kembali asisten dokter tersebut, kuceritakan apa yang terjadi.

"InsyaAllah tidak terjadi apa-apa, aman itu?", katanya menenangkan.

Alhamdulillah lah...

Tepat seminggu kami kembali ke rumah sakit Haji untuk kontrol kedua. Disana kami ceritakan masalah kateter yang terlepas itu kepada dokter bedah tersebut. Sempat terkejut dia.

"Hah lepas?"

"Tapi ga ada apa-apa dok, kencingnya lancar dari lubang penisnya, ga ada rasa sakit", kataku menjelaskan.

"Ya, kalau gitu aman lah?", kata sang dokter.

Busyet cuma gitu aja responnya, bukannya apresiasi, komen apa gitu kek, diperiksanya pun tidak penis anak kami. Oalah dokter...

"Kalau gitu anak kami sudah disunnat kan dok?", istriku bertanya.

"Iya sudah!", jawab si dokter.

"Berarti ini operasi finalnya kan dok, udah selesai?", gantian aku bertanya.

"Iya uda selesai!", jawabnya singkat.

Busyet dah, singkat amat jawabannya dok, kataku dalam hati. Apa begini ya ciri khas dokter bedah senior?

Tapi yang lebih penting dari semua itu adalah:

"ANAKKU SUDAH SELESAI OPERASI, DAN INSYAALLAH TIDAK AKAN KE RUMAH SAKIT LAGI...!!!"

Usai Sudah Penantian Kami Selama 5 Tahun

Tepat 5 Maret 2024 saat kontrol kedua anak kami, selesailah kunjungan kami ke rumah sakit. Rasanya seperti mimpi, anak kami sudah selesai operasinya. Seperti tak percaya, saking seringnya kami bolak-balik ke rumah sakit, seperti rutinitas biasa saja rasanya. Kebayang semua lelah, rasa cemas, sedih, khawatir saat si kecil harus ke rumah sakit, dan semua itu seakan sirna mendengar bahwa anak kami sudah selesai operasinya.

Lima tahun kami bersabar dalam penantian, rasa khawatir dan cemas bagaimana nasib anak kami. Selama lima tahun anak kami dari usia 3 bulan, di pending, di oper sana sini, dibola-dibola oleh rumah sakit dan dokter. Rasa putus asa dan ingin menyerah dengan keadaan, berkali-kali kami rasakan. Tapi pada akhirnya selesai juga pengobatan anak kami. Allah kabulkan doa-doaku, Dia tepati janjiNya. Terima kasih ya Rabb, tanpa campur tanganMu, tak kan sanggup kami melewati semua ini.

Rasanya selesainya pengobatan anak kami ini seperti hadiah Ramadhan yang diberikan Allah Azza Wa Jalla untuk kami.

Hadiah terindah jelang Ramadhan.

Selesai sudah kisah ini aku tulis. Aku dokumentasikan sebagai kenang-kenangan dan sebagai rasa syukur. Sebelumnya, rasanya seolah tak kan tertulis lagi kisah ini, karena begitu sulitnya perjalanan pengobatan anak kami, tapi ternyata semuanya berakhir dengan seperti yang kami harapkan, dan kisah ini pun bisa terselesaikan. (Selesai)

(Ayahnya Fathan, ditulis di Terjun pada 11 Maret 2024 bersamaan hari pertama Ramadhan 1445 Hijriah)

Spesial Thanks:

Terima kasih kepada dokter Siska Mayasari Lubis (endokrin anak), dokter Nurdiani (spesialis anak) dan dokter Erjan Fikri (spesialis bedah anak), walau pun sikap dokter bedah ini ngeselin, tapi melalui perantara tangan beliau lah, anak kami selesai menjalani operasi demi operasinya. Semoga Allah Azza Wa Jalla membalas kebaikan kalian.

Difan

Menulis itu bukan karena kita tahu banyak, tapi karena banyak hal yang ingin kita tahu

Post a Comment

Silakan berkomentar dengan sopan dan santun

Previous Post Next Post