Kumpul-kumpul Lambang pergaulan dan Sosialisasi?

Orang +62 memang dari dulu punya kebiasaan suka ngumpul dan bekoyok (baca: ngobrol). Kebiasaan ini dilakukan bukan hanya orang muda, tapi juga orang-orang yang tua. Dari mulai anak sekolah, mahasiswa, pekerja, karyawan, jamaah pengajian, tetangga, anak komplek, anak kampung, dan sebagainya.

Kita bisa lihat penampakan sehari-hari kebiasaan anak remaja SMP atau SMA yang identik dengan pergaulan. Tiada hari tanpa ngumpul, sebelum bel masuk, ngumpul, saat jam istirahat ngumpul, saat bel pelajaran usai juga ngumpul. Dan sampai di rumah pun ngumpul sama teman rumah. Yang diobrolin, apalagi kalau bukan masalah cewek dan yang menjurus ke porno. Topik kayak gitu memang asyik untuk dibahas.

Orang lebih betah ngumpul sama teman/tetangga ketimbang dengan istri dan keluarganya. Di tempat saya para emak-emak lebih betah ngumpul dan duduk-duduk di pinggir jalan ketimbang diam di rumah bersama anak dan suaminya. Bayangin aja ngumpul di pinggir jalan, bahkan hampir ke tengah jalan, ruar biasa kan?

Begitu juga didalam pengajian, aktifitas kumpul-kumpul dan ngobrol ngalor ngidul itu tetap ada. Berangkat ke pengajian, sebelum ustadz datang ngumpul, ngobrol ngalor ngidul, sesudah pengajian sebelum pulang, kumpul lagi. Heran, ga bosan apa ya?

Yang diobrolin itu banyakan ga ada manfaatnya. Dari mulai bahas politik (ini topik yang paling seru), konspirasi, dan urusan duniawi yang dianggap menarik lainnya. Diselingi cekikikan, terbahak-bahak, entah apa yang lucu. Kalau pun ada bahas agama, terkadang tanpa ilmu atau bahasa kasarnya sok tahu.

Kadang suka gemas dan emosi sendiri dengar orang bicara ke-pede-an, tanpa data akurat, seolah dia itu agen intelijen yang sangat tahu tentang masalah dalam negara ini. Menyalah-nyalahkan penguasa (maaf ya bukan saya bela penguasa), menyimpulkan sebuah kejadian dengan data-data hoax yang banyak bersileweran di medsos.

Sewaktu Covid masih buming dulu, tema ini sangat menarik dibahas oleh para tukang kumpul-kumpul tersebut. Habis para ulama dikritik oleh tukang kumpul ini, karena dianggap para ulama salah memfatwakan shalat di masjid pakai jarak dan pakai masker. Padahal para ulama tersebut berijtihad dengan berlandaskan Quran dan Hadits juga. Dan sipengkritik yang tadi koar-koar nyalah-nyalahin ulama, bahasa Arab pun tak tahu, jangankan ngerti bahasa Arab, baca Qur'an pun mungkin banyak yang salah, hapal hadits pun tidak. Belum lagi menyalah-nyalahkan pihak rumah sakit yang katanya mengambil keuntungan dari Covid19 ini. Padahal ini belum tentu benar. Itulah akibat hoby ngumpul.

Bagi orang-orang yang ga hoby ngumpul, maka akan di"boikot", dianggap keluar dari jamaah ahlul ngumpul, menyelisihi ijma manusia +62. Maka imbasnya mereka yang tak suka ngumpul akan dicap kuper (saat remaja), dicap tak bersosialisasi (saat uda dewasa / tua). Ngeri kan?

Saya pribadi dari dulu tak suka yang namanya ngumpul. Sehabis sekolah/kuliah/ngaji, langsung pulang. Banyak hal penting yang ingin dikerjakan ketimbang kumpul-kumpul. Ngumpul-ngumpul itu buang-buang waktu dan energi. Kalau sekali-sekali ngumpul ya tak mengapa asal jangan terus-menerus.

Bahkan dengan teman-teman dekat pun saya tak sering ngumpul. Dulu dengan teman-teman musisi, ngumpul dengan mereka hanya saat bahas lagu dan aransemennya saja. Jarang saya ngumpul dengan mereka seperti di kafe, di mall, rumah teman lainnya. Bukan apa-apa, yang diobrolin hanya masalah cewek dan hal-hal yang menurut saya tak menarik lainnya. Bosan saya.

Bahkan dengan teman yang paling dekat (sohib akrab) sekalipun, kita jarang kumpul. Saya punya teman dekat (sehati), kita itu suka jalan-jalan (jelajah ke daerah-daerah), dan saat singgah di suatu tempat, nah disitu kita ngumpulnya, atau saat dalam perjalanan singgah di Masjid untuk shalat, disitulah berkumpulnya. Obrolan kita pun banyakan tentang agama, tentang cita-cita, tentang alam.

Apa sih manfaat ngumpul-ngumpul?

Manfaatnya mungkin saja ada, ya contohnya untuk sosialisasi agar lebih mengenal. Tapi dibalik manfaat tersebut, lebih banyak lagi mudharatya (keburukan). Apalagi orang-orang yang ngumpul tersebut suka gosip, ghibah, maksiyat atau suka dengan hal-hal lain yang tak ada manfaatnya. Maka yang diobrolin pun yang unfaedah bahkan jadi dosa.

Bersosialisasi itu memang penting. Tapi tiap saat ngumpul juga bukan syarat bersosialisasi. Untuk apa tiap hari ngumpul, tapi suka nyalah-nyalahin/bicarain orang, suka ngolok-ngolok. Bersosialisasi itu bagaimana kita mengenali orang-orang yang dekat / disekitar kita, peka terhadap kesusahan orang, tidak mengganggu tetangga, menghormati hak-hak masing-masing.

Ketahuilah kumpul-kumpul itu sangat banyak sisi negatifnya.

1. Terjatuh kepada ghibah. Orang kalau udah ngumpul, apalagi aktifitasnya kalau bukan ngobrol ngalor ngidul, disaat ini tak sadar kita sudah membicarakan kejelekan orang (ghibah).
2. Membuang-buang waktu dengan hal-hal yang tak bermanfaat bahkan dosa.
3. Disaat kumpul-kumpul, sering bercanda bahkan mengolok-olok. Bercanda jaman now itu dengan menjatuhkan harga diri orang. Ngekick istilah jaman now-nya.
4. Terjadi konflik. Ini sambungan dari poin ke 3 diatas. Akibat sakit hati dan tersinggung, maka berujung dendam dan menjadi konflik.

Sebenarnya ngumpul itu bagus kalau saja manusia jaman sekarang itu berakhlak dan berwawasan agama. Ngumpul bicarain masalah agama, saling tukar pendapat, saling berbagi ilmu, saling menasehati, ini kan hal yang dianjurkan oleh agama kita? Tapi jaman now, manusia suka membicarakan hal-hal yang tak ada manfaatnya.

Lagian kalau pun tak bicara tentang agama, ngumpul jaman now itu memang tak ada nikmat-nikmatnya. Yang diobrolin banyakan tentang politik, tentang cewek, tentang sex, urusan jual beli tanah, bisnis, dan ngalor ngidul lainnya yang membetekan telinga.

Penulis menyadari saat ngumpul dengan teman-teman terkadang sering mengghibahi orang-orang yang tidak disuka, atau hal-hal lain yang yang tak bermanfaat. Makanya, lebih baik tak usah ngumpul-ngumpul lagi.

Kalau dalam agama, jelas kumpul-kumpul model jaman now ini tidak dianjurkan, apalagi kalau dikaitkan tujuan manusia hidup di dunia yang sangat singkat ini untuk apa? Cukuplah kita dengar perkataan ulama dibawah ini sebagai nasihat:

Waktu laksana pedang. Jika engkau tidak menggunakannya, maka ia yang malah akan menebasmu. Dan dirimu jika tidak tersibukkan dalam kebaikan, pasti akan tersibukkan dalam hal yang sia-sia.
(Madarijus Salikin, 3/125.)

(Wallahu'alam)

Difan

Menulis itu bukan karena kita tahu banyak, tapi karena banyak hal yang ingin kita tahu

Post a Comment

Silakan berkomentar dengan sopan dan santun

Previous Post Next Post