Hukum Wisata Kuliner



(Hukum) wisata kuliner, bukan tidak boleh, tapi jika berlebihan tidak baik

Ada yang bertanya via WA tentang hadits dalam meme ini, terutama tentang hukum wisata kuliner yang lagi ngetren belakangan.
------

Jawab:
- Demikian teks haditsnya,

شرار أمتى الذين غذوا بالنعيم الذين يأكلون ألوان
الطعام ويلبسون ألوان الثياب ويتشدقون فى الكلام .

(Terjemahan lihat di gambar atas)

- Imam Ahmad tidak meriwayatkan hadits ini sebagaimana tertulis di meme, baik dalam Al-Musnad maupun Az-Zuhd.

- Hadits ini diriwayatkan oleh: Ibnu Abid Dunia dalam Dzammul Ghibah, Ibnu Adi, Al-Baihaqi dalam Syu'abul Iman, dan Ibnu Asakir; dari Fatimah binti Rasulillah SAW.
(lihat; Imam As-Suyuthi, Jami' Al-Ahadits, nomor 13406)

- Hadits ini dihasankan oleh Syekh Al-Albani dalam Shahih At-Targhib Wat Tarhib (no. 2087) & Shahih Al-Jami' Ash-Shaghir (no. 6018)

- Wisata kuliner pada dasarnya adalah boleh. tapi ketika ia menjadi hobi, dimana sampai meluangkan waktu dan biaya yang tidak sedikit untuk memburu makanan kesukaan sampe ke tempat yang jauh, ini yang bisa menjadi tidak boleh. dalam arti, pada batasan tertentu, yang semacam ini jika dijadikan kebiasaan, maka pelakunya adalah seburuk-seburuk umat ini. wal 'iyadzu billah...

- Imam Al-Munawi (bisa dibaca Al-Manawi) menyimpulkan* perkataan Imam Al-Ghazali,

أكل أنواع الطعام ليس بحرام بل هو مباح لكن المداوم عليه يربي نفسه بالنعيم ويأنس بالدنيا ويأنس باللذات ويسعى في طلبها فيجره ذلك إلى المعاصي فهم من شرار الأمة لأن كثرة التنعم تقودهم إلى اقتحام المعاصي.

"Menyantap aneka ragam makanan tidaklah haram. ia hukumnya mubah. tapi orang yang selalu makan aneka makanan, dia melatih dirinya pada hidup enak, nyaman dengan kenikmatan duniawi, akrab dengan berbagai kelezatan, dan berusaha untuk mendapatkannya (makanan enak). hal ini bisa menyeretnya kepada perbuatan maksiat. maka, mereka termasuk sejelek-jelek umat ini, karena banyak bergelimang dengan kenikmatan. dimana hal tersebut bisa menyeret kepada perbuatan maksiat."
(Faidhul Qadir, 4/204)

Wallahu a'lam..
------

* Saya katakan menyimpulkan (bukan menukil), karena saya baca aslinya di Ihya' 'Ulumiddin, redaksinya cukup panjang dan tidak sama dengan yang dikatakan Al-Munawi.

(Ustadz Abduh Zulfidar Akaha)

Sumber: Abduh Zulfidar Blog

Difan

Menulis itu bukan karena kita tahu banyak, tapi karena banyak hal yang ingin kita tahu

Post a Comment

Silakan berkomentar dengan sopan dan santun

Previous Post Next Post