Bismillah...
Saya dahulu seorang perokok aktif. Saya mulai merokok di usia 7 tahun. Tapi alhamdulillah, berhenti sepenuhnya di usia 20 tahun.
Semua itu, bukan tanpa cerita. Saat itu, saya sudah kecanduan hebat. Tak seperti umumnya perokok biasa, kala itu, saat sebatang rokok dihisap, nyaris 100 persen asapnya tidak akan saya biarkan keluar, melainkan dihirup lepas hingga lenyap di rongga dada.
Abu rokoknya saya masukkan tepis demi tepis ke dalam secangkir kopi panas. Lalu dihirup dan ditelan bersama aliran kopi kental, jauh ke dalam limbah usus. Kalau itu rokok kretek, maka saya gunakan dua pentol korek api yang saya lesakkan di pangkal rokok sebagai penyangga, agar rokok dapat dihisap nyaris tak menyisakan puntung.
Miris....!
Diawali, salah satu teman merokok saya berhenti merokok, akibat penyakit pholips akut yang mengharuskan ia dioperasi. Satu kawan lain, pemasok tunggal tembakau murni sebagai rokok 'pelengkap' kami, ayahnya bangkrut, sehingga pasokan benda berbahaya itu terhenti sama sekali.
Keuangan sebagai santri semakin sekarat, sehingga untuk merokok saya harus memunguti puntung rokok di jalanan, atau dari asbak rokok guru saya yang bila merokok selalu menyisakan sepertiga batang rokoknya.
Banyak teman mengingatkan agar saya berhenti merokok. Tapi perokok 'sejati', selalu punya dalih, dalil dan argumentasi untuk menjaga eksistensi merokoknya. Ia adalah juru debat paling handal untuk membela kebatilannya, penegak utama atas benang yang basah kuyup sekalipun. Mulai dari dalil agama, argumentasi kesehatan, hingga soal ekonomi dan hidup hemat, tak pernah saya indahkan. Hingga akhirnya, ego saya TERBUNGKAM.
Di salah satu kajian ilmiah sederhana, saya mengobrolkan soal syarat-syarat diterimanya TAUBAT, terutama bila dosa itu terkait dengan dosa kepada Allah, plus kesalahan kepada sesama manusia.
- Menyesal.
- Berhenti melakukan dosanya.
- Bertekad untuk tidak mengulanginya lagi.
- Mengembalikan hak orang yang kita ambil, atau MEMINTA MAAF atas kesalahan kita kepada seseorang yang kita zhalimi.
Saat itu muncul sebuah pertanyaan:
Kalau saya berhenti MEROKOK dan BERTAUBAT, mampukah saya meminta maaf kepada ratusan, bahkan ribuan orang yang telah dan pernah saya ZHALIMI dengan asap rokok saya yang terhisap saat saya sedang merokok di keramaian, di kendaraan, atau sekadar dari sisa asap rokok yang melekat di mulut, kulit atau baju saya?
Mereka bisa jadi orang tua, lelaki, perempuan, anak-anak, hingga bayi yang ada dalam kandungan?
Bisa kah saya meminta maaf kepada mereka semua yang pernah saya zhalimi selama 13 tahun saya MEROKOK?
Kalau tidak, bahkan bila saat itu saya BERTAUBAT sekalipun, salah satu SYARAT diterimanya taubat itu tak akan mampu saya penuhi.....!!!
Tubuh saya bergetar. Bergidik.
Satu malam suntuk saya tak bisa tertidur. Keesokan harinya, menjadi hari pertama tanpa ASAP ROKOK dalam hidup saya.
Di sisa hari-hari itu, saya hanya berharap Allah berkenan mengampuni taubat saya yang tak cukup SYARAT ini, dengan mendoakan semua yang pernah terzhalimi oleh ASAP ROKOK saya selama ini, agar dosa-dosa mereka diampuni, hidup mereka diberkahi, dan tak pernah terlibat dalam aksi kesalahan yang amat menyesakkan dada ini.
Selamanya.
(Abu Umar Basyir)
Tags:
Religi