Buah Hati Kami, Muhammad Fathan Mubina

(Anugrah terindah)

Bulan ke 7 di tahun 2018 adalah bulan dimana kandungan istriku sudah berusia 9 bulan. Sudah semakin dekat bayi yang dikandungnya akan dilahirkan. Hari demi hari kami nantikan saat itu. Rasa khawatir dan was-was tak usah dibilang lagi, perasaan itu lah yang selama ini selalu mengganggu fikiranku.

Dan di pertengahan bulan, pukul 4 dini hari jelang Shubuh, istriku membangunkan diriku, dia mengeluh sakit di perut dan air ketuban nya sudah mengalir. Terkejut ga menyangka secepat ini, spontan aku bangunkan emak di kamarnya. Emak pun langsung menyuruh membawa istriku ke klinik bidan terdekat. Jelang Shubuh yang sepi dan dingin aku pacu sepeda motorku dengan membonceng istri yang masih mengeluh sakit di perutnya.

Di klinik kami ketok pintu kaca sambil mengucap salam membangunkan penghuni klinik. Ternyata klinik tutup, tidak siaga 24 jam. Setelah agak lama menunggu, muncul seorang wanita (mungkin perawatnya). Kami pun masuk, istriku diperiksa. Aku menunggu dengan hati makin tak menentu. Berharap yang terbaik untuk istri dan calon bayi yang dikandungnya.

Si perawat tadi pun keluar dari ruang periksa, dengan hati berdebar aku menunggu penjelasannya. Ternyata istriku belum waktunya melahirkan, belum ada jalan buat si bayi untuk keluar, mungkin sekitar 2 hari lagi, kata si perawat. Tak lama sang bidan pun muncul dan memeriksa istriku. Kami disuruh pulang kembali. Sedikit mengecewakan hati kami. Padahal tempat tidur periksa istriku tadi sudah ada genangan darah. Tapi sang bidan masih tetap mengatakan belum waktunya, katanya harus menunggu darahnya sering-sering keluar dan sering terasa sakit, baru dibawa kembali ke klinik.

Saya sudah memohon agar istri di rawat inap saja di klinik agar kalau terjadi apa-apa, ada yang menangani. Ternyata tidak diizinkan juga. Ya apa boleh buat, kalau bidan sudah berkata begitu mau bilang apa lagi. Terpaksa kami kembali pulang dengan kondisi istri yang masih lemah dan menahan sakit.

Paginya kondisi istri sudah rada mendingan walau ada rasa sakit di perut yang sekali-sekali muncul. Aku bujuk dan besarkan hati istriku agar bersabar karena kata bidan tadi belum waktunya. Ya, aku merujuk kata bidan tadi itu, kan dia yang tahu menangani wanita hamil?

Sorenya istriku memaksaku untuk ke rumah sakit saja biar di opname biar langsung ditangani dokter dan perawat, rupanya rasa sakit yang dia derita semakin sering terasa. Tapi aku menolak (masih merujuk kepada bidan tadi), aku bilang agar bersabar sedikit, wanita kalau mau melahirkan ya memang ada rasa sakit, tunggu aja sampai 2 hari kita ke bidan lagi, begitu kataku kepada istri.

Saya memang trauma kalau bicara rumah sakit. Jika istriku dibawa kesana pasti langsung di operasi (bedah). Aku ga suka istriku di sayat-sayat perutnya, ya pendapatku kalau memang bisa persalinan manual itu lebih baik dari pada operasi. Lagi pula aku pernah mendapat kenangan pahit di Rumah Sakit saat kakak ku meninggal disana dengan pelayanan yang tak sesuai. Jadi aku putuskan tidak ke Rumah Sakit.

Puncaknya, kembali terulang kejadian dini hari kemarin, jam 4 dini hari istriku membangunkanku, ia mengerang sakit, sepertinya sudah tak tertahankan. Emak langsung menyuruhku agar segera dibawa ke rumah sakit (sekedar info, rumahku jauh di luar kota, rumah sakit yang bagus pelayanannya hanya di kota, ini juga alasan buatku untuk enggan ke rumah sakit). Segera emak menelepon tetangga buat numpang mobil karena sudah tak mungkin aku bonceng istriku dengan sepeda motor. Tetangga yang baik hati pun mau menolong. Aku menyusul mereka dengan sepeda motor kesayanganku. Pagi-pagi buta aku pacu kembali sepeda motorku menembus udara dingin menuju ke kota.

Sesampai di rumah sakit ternyata dokter tidak ada. Perawat bilang dokter di rumah sakit ini tidak selalu siaga. Bagaimana ini? Mau bawa istri ke bidan tempat biasa kami memeriksa (bukan bidan yang diatas yang saya sebutkan itu ya) sudah tidak memungkinkan. Istri juga sudah tak tahan lagi, akhirnya diputuskan untuk di rumah sakit ini saja. Ya sudahlah saya menurut.

Waktu sudah mendekati Shubuh. Suara muadzin di Masjid depan rumah sakit berkumandang menandakan sudah masuk waktu untuk shalat. Saya bergegas ke Mesjid dengan perasaan tak menentu.

Selesai Shubuh saya kembali rumah sakit. Ternyata emak sedang berembuk dengan para suster. Emak memanggil saya, beliau bilang istriku mau di operasi atau normal? Soalnya yang nanya begitu dari pihak rumah sakit. Terang aja saya maunya normal. Perawat bilang mereka akan pantau dulu istri saya sampai siang jika memungkinkan maka akan dilakukan persalinan normal jika tidak memungkinkan maka terpaksa di operasi.

Dalam keadaan seperti itu, saya ga bisa apa-apa, ya nurut saja. Ada kejadian ga enak disini. Satu orang perawat yang sok disiplin nyerocos aja kayak petasan, bolak-balik dia bilang ke kami tentang masalah aturan persalinan dan operasi tadi. Saya yang lagi kalut dengan suasana yang terjadi langsung membentak perawat tersebut. Habis saya marahi perawat-perawat itu. Perawat kok nyinyirnya minta ampun, ga ada ramahnya sama pasien. Judes, jutek, angkuh lagi. Emosi saya meledak. Emak buru-buru menenangkan amarah saya. Suasana reda kembali tapi kekesalan saya masih belum reda.

Tak berapa lama setelah menyelesaikan urusan adminstrasi, saya dan istri dibawa ke ruang kelas 3 bernama Al-Raqib. Emak memutuskan pulang ke rumah untuk membawa segala sesuatu yang diperlukan.

Menunggu siang, istriku makin mengeluh sakit di perutnya. Entah bagaimana perasaannya, sakitnya tambah menjadi. Saya bolak-balik memanggil perawat judes tapi mereka bilang memang seperti itu kondisi wanita melahirkan, ya memang sakit sekali. Saya bujuk istri supaya bersabar dan banyak berdzikir. Jam 9 pagi kondisi istriku sudah buka 3. Aku lega berarti normal, tidak perlu operasi. Nunggu sampai bukaan 5 maka istriku akan dibawa ke ruang persalinan.

Sampai jam setengah sebelas ternyata masih dalam kondisi buka 3. Istriku langsung dibawa ke ruang persalinan. Makin berdebar dan cemas rasanya. Sampai di ruang persalinan, saya dan emak disuruh menunggu di luar.

Lama kami menunggu di luar ruang persalinan. Rasanya ingin menemani istriku tapi tidak diperbolehkan, aneh ya, suami kok ga boleh mendampingi istrinya? Akhirnya saya dipanggil kembali masuk ke ruang persalinan, ternyata dokternya sudah datang. Eh langsung saya dan emak dimarahi si dokter itu.

Katanya kenapa baru sekarang di operasi? Kenapa ga tadi pagi? Ini kasihan kondisi istri anda yang menahan sakit. Si dokter pun bilang, kasihan ini bayinya. Mau di operasi pun percuma! Nyap-nyap terus dokternya. Rupanya perawat sama dokter di Rumah Sakit ini setali 3 uang, sama-sama ga ada rasa ramahnya sama pasien.

Sontak mendengar perkataan dokter, darahku serasa berhenti mengalir, lemas sudah, ga tahu gimana lagi kondisi perasaanku waktu itu. Aku tertunduk tak mampu berkata apa-apa. Gimana nasib istri anakku ya Allah? Begitu rintihan bathinku berulang-ulang. Emak coba memprotes perkataan si dokter tadi, beliau bilang, kami tak ada diberitahu agar segera di operasi, yang ada kami diberi pilihan, mau operasi atau normal? Ya jelas kami pilih normal dulu. Rupanya penjelasan emak dibantah sama si dokter ini. Dia tetap bersikukuh bahwa perawat sudah memberitahu hal ini.

Dalam hatiku berkata, dokter lucu ini, datang-datang langsung marah-marah nakutin pasiennya. Wong dini hari tadi dia ga ada di rumah sakit. Seharusnya si dokter ini siaga di tempat pas pasiennya tiba jadi bisa langsung berkonsultasi apa yang perlu dilakukan dan yang tidak dilakukan. Kalau memang istriku harus dioperasi karena kondisinya yang tidak memungkinkan ya saya jelas nurut. Lha wong tidak ada penjelasan dari dokter kok malah marah-marah. Dokter koplak!

Begitulah akhirnya aku disuruh menandatangani surat persetujuan operasi istri. Perasaan sudah ga karuan malah ditambah mengisi dan menanda tangani segala tetek bengek formulir. Aku disuruh pamitan sama istri, makin down aku, kayak mau pisahan aja. Terang aja aku sedih ga karuan rasanya. Aku ciumi istri berulang-ulang dan membesarkan hatinya. Emak sampai menangis memohon kepada sang kodok eh.. sang dokter agar sekuat daya menolong istri dan calon bayiku.

"Ya Allah, selamatkan istri dan bayi yang dikandungnya. Sehatkanlah mereka tak kurang suatu apa pun?" Berulang-ulang doa itu aku panjatkan dalam hati. Tak terasa mataku berkaca-kaca. Aku menangis dalam hati. Pasien disekitarku bertanya-tanya ada apa? Aku cuma diam, emak lah yang menjelaskan kepada mereka. Mereka menenangkan dan membesarkan hati saya. Mereka bilang itu dokter memang begitu, suka nakut-nakutin pasiennya. Rupanya keluarga pasien di sebelahku pernah bersalin di rumah sakit Sufina Aziz ini. Dia dulu juga ditakut-takutin sama tu dokter. Kata si dokter kalau ga bayi ya ibunya yang ga selamat. Nyatanya anaknya selamat. Sambil tu si abang nunjuk ke anak perempuannya.

"Udah bang, ga apa-apa itu, tenang saja. Istri dan bayi abang selamat nanti, begitu kata-kata mereka kepadaku?"

Agak terhibur dan besar juga rasanya hati ini. Orang-orang ini sangat baik hatinya, ga kayak si dokter yang nakut-nakutin pasiennya. Dokter itu seharusnya membesarkan hati pasiennya agar pasienya semangat bukan malah menjatuhkan mentalnya. "CATAT ITU BOSS...!!!"

Kami ga nunggu lama, beberapa menit kemudian salah seorang keluarga pasien tadi berteriak, "Itu udah lahir bayinya, terdengar tangisannya".
"Mungkin pasien yang lain?" Sahutku.
"Engga kok, yang masuk ruang operasi tadi kan cuma istri abang?" Jawabnya.
"Ooee... ooeee.. oeeee...!!!!"
Kali ini aku mendengar jelas suara tangisan bayi, sangat keras.
"Benarkah ini bayiku?"

Tak beberapa lama keluar suster dari ruang operasi menggendong bayi.

"Udah lahir bayinya laki-laki..!!" Kata perawat tadi memberitahukan.

"Alhamdulillah sudah lahir anakku, semoga sehat ya Allah?"

Aku bangkit dari duduk menghampiri suster yang menggendong bayiku. Aku bertanya kepadanya bagaimana keadaan istriku. Dia menjawab, insyaAllah baik-baiik aja. Aku bernafas lega. Para pasien tetanngga mengucapkan selamat kepadaku.

Ga berapa lama aku dipanggil lagi ke ruangan bayi, di suruh wudhu untuk mengadzankan bayi.

Ditengah tangisannya, aku tatap mata bayiku ini dengan penuh kasih sayang. "Inilah wajah mungil yang sering menendang-nendang perut uminya selama masih dalam kandungan". Ada kesan yang mendalam..

Akhirnya saya dipanggil lagi ke ruangan koridor operasi, ternyata disana sudah menunggu istriku tercinta. Dia masih terbaring lemah di atas tempat tidur dorong. Istriku tersenyum saat melihat saya datang. Aku mencium kening dan pipinya berulang-ulang sambil memegang jari-jari tangannya. Saya gembira melihat dia sehat dan tersenyum. Tak ada kegembiraan yang saat itu ku rasakan selain melihat engkau selamat.

"Aku belum siap untuk kehilangan kamu, tetaplah berada disampingku wahai Bidadari Syurga-ku?"

==========================

Muhammad Fathan Mubina, itu nama yang kuberikan untukmu nak, nama yang diberikan oleh teman seorang penuntut ilmu di FB. Fathan Mubina diambil dari penggalan surah Al-Fath ayat 1. Yang artinya Kemenangan Yang Nyata. Saya tambahkan nama Rasulullah SAW di depan namamu. Berharap nama yang baik dan bermakna ini bisa jadi doa kebaikan untukmu kelak. Semoga kau menjadi anak yang shaleh. Menjadi seorang Muslim yang lurus, kaffah..

Maafkan ayahmu yang belum bisa membahagiakan dirimu dan umi mu. Maafkan ayah yang belum bisa menjadi ayah yang layak. Perjalanan kelahiranmu membawa kebahagiaan, kesedihan, renungan tersendiri buat abi dan umi.

Semoga Allah Ar-Rahman dan Rahim memberikan kita ampunanNya, kebaikan, petunjuk dan keberkahan. Semoga kita termasuk didalam golongan hamba-hambaNya yamg muttaqin... aamiin..

NB:Buat RS Sufina Aziz, saya tidak memburuk-burukkanmu. Hanya sedikit kritikan kecil buatmu. Tolong hargai pasien dengan keramah tamahan perawat-perawatmu juga dokter-dokternya. Berikan perlakuan ikhlas dan bukan perlakuan judesmu. Semangatkan pasien bukan dijatuhkan mentalnya.

(Difan96, at R.P) August 2018.

Difan

Menulis itu bukan karena kita tahu banyak, tapi karena banyak hal yang ingin kita tahu

Post a Comment

Silakan berkomentar dengan sopan dan santun

Previous Post Next Post